Compiled by: ANDIKA MAULANA
A.
PENDAHULUAN
Pluralitas agama merupakan sebuah
kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita temukan
berbagai macam agama. Setiap agama pada hakikatnya merupakan tanggapan manusia
terhadap wahyu Tuhan atau sesuatu yang dianggap sebagai Realitas Mutlak. Dengan
agama, manusia dapat menyadari hakikat keberadaannya di dunia. Selain itu,
agama berniat menawarkan jalan menuju keselamatan dan menghindari penderitaan.
Oleh karena itu, tak ada agama yang dengan sadar mengajarkan kejahatan; ia
merasa senantiasa mendorong manusia untuk berbuat kebajikan.
Di tanah air Kita Indonesia ini,
berbagai agama hidup dan berkembang dalam keadaan berdampingan dan sekaligus
bersaing. Masing-masing penganut agama merasa mengemban tugas suci untuk
menyampaikan kebenaran yang diyakininya, kepada orang lain.[1]
Dari sekian banyak agama yang ada
di muka bumi ini, agama manakah yang
disyariatkan disisi Allah? Apakah agama Hindu, Buddha, Khong Hu Cu, Shinto, Yahudi,
Kristen, ataukah Islam?
Oleh karena itulah, pada
kesempatan kali ini, Pemakalah akan mencoba menguraikan tafsiran QS. Ali Imran
(3) : 19, yang berbicara tentang agama yang diridai disi Allah.
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Teks
dan Terjemahan QS. Ali Imran (3) : 19
2.
Penafsiran
Kata-Kata Sulit QS. Ali Imran (3) : 19
3.
Penafsiran
QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi Dalam Tafsir
Al-Maraghi
4.
Penafsiran
QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Syaikh Imam Al-Qurthubi Dalam Tafsir
Al-Qurthubi
5.
Penafsiran
QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut M. Quraish
Shihab Dalam Tafsir Al-Mishbah
PEMBAHASAN
1.
Teks dan Terjemahan QS. Ali Imran
(3) : 19
19.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[115] kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
[115] Maksudnya ialah Kitab-Kitab
yang diturunkan sebelum Al Quran.
2.
Penafsiran Kata-Kata Sulit QS.
Ali Imran (3) : 19[2]
Ad-Din : secara literal mempunyai
beberapa makna : pembalasan, taat dan tunduk. Atau kumpulan tugas yang
dijalankan oleh hamba Karena Allah. Dan apa yang dibebankan kepada hamba
dinamakan syariat, jika dilihat dari segi letak dan peranannya dalam memberikan
penjelasan kepada manusia.
Dinamakan juga Din, juga dilihat dari segi yang harus
ditaati dan berarti taat kepada pentasyri’.
Pengertian millah, karena dianggap
sebagai yang di imlakkan dan dituliskan.
Al-Islam : terkadang berarti taat dan
menyerahkan diri. Berarti juga melaksanakan (menunaikan). Dikatakan, Aslamtusy Syaia Ila Fulanin (bila Anda
menunaikan padanya). Bisa pula diartikan masuk ke dalam silm (perdamaian), atau damai dan selamat. Penamaan dinul haq menjadi islam adalah sesuai dengan
semua pengertian tadi. Sedang nama yang pertama adalah lebih sesuai. Hal ini
ditunjukkan oleh Firman Allah QS. An-Nisa’ (4) : 125 :
125. dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
3.
Penafsiran QS. Ali Imran (3) :
19, Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi Dalam Tafsir Al-Maraghi[3]
“Sesungguhnya agama (yang
diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”
Sesungguhnya semua agama dan
syariat yang didatangkan oleh para Nabi, ruh atau intinya adalah Islam (menyerahkan diri), tunduk dan
menurut. Meskipun dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda, hal
ini pulalah yang selalu diwasiatkan oleh para nabi. Orang Muslim hakiki adalah
orang yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan
disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia
berada. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT QS. Ali-Imran (3) : 85 :
85.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.
Disyariatkannya
Din Karena Dua Hal :
Allah SWT mensyariatkan agama
karena dua hal :
a.
Untuk
memebersihkan rohani dan membebaskan akal dari berbagai kotoran akidah, yang
menganggap hal-hal gaib itu berkuasa atas diri makhluk. Sehingga dengan
kekuatan gaib tersebut, seseorang bisa mengatur makhluk hidup sekehendaknya
yang bertujuan agar orang tunduk dan menyembah siapa saja yang dianggap semisal
(artinya, bukan Tuhan).
b.
Meluruskan
hati dengan cara memperbaiki amal dan ikhlas dalam berniat baik Karena Allah
atau untuk menolong sesame.
Masalah ibadah disyariatkan untuk
mendidik ruh akhlak agar si empunya mudah melaksanakan kewajiban-kewajiban
agama.
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah
hadits dari Qatadah, Rasulullah SAW, bersabda :
“Yang dinamakan Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
mengakui apa-apa yang datang dari sisi Allah . Islam merupakan agama Allah SWT,
yang disyariatkan untuk diri-Nya dan mengutus dengannya para Rasul-Nya, dan
dibuktikan oleh kekasih-kekasih-Nya, Allah tidak akan menerima agama selain
Islam, dan Allah SWT, tidaklah memberi agama kecuali melalui-Nya.”
Ali ra. berkhutbah, “Agama Islam adalah menyerahkan diri dan
menyerahkan diri adalah keyakinan, dan keyakinan ialah percaya, percaya ialah
berikrar, dan berikrar ialah melaksanakan, sedang melaksanakan adalah
mengamalkan,” Selanjutnya beliau mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin mengambil agamanya dari Tuhannya bukan
mengambilnya dari pendapatnya sendiri. Orang yang beriman diketahui keimanannya
dari amal perbuatannya, dan orang kafir diketahui kekafirannya dari
keingkarannya. Wahai umat manusia, berhati-hatilah terhadap agamamu, sebab
sesungguhnya kejelekan di dalam agama ini (Islam) adalah lebih baik dari pada
kebaikan yang lainnya. Sebab kejelekan di dalamnya akan diampuni, sedang
kebaikan selainnya tidaklah diterima.”
“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka.”
Orang-orang Ahlul Kitab tidak
keluar dari Islam yang dibawa oleh para Nabi mereka, sehingga mereka terpecah
menjadi beberapa sekte yang saling bermusuhan dalam masalah agama. Padahal
agama adalah satu, tidak ada persengketaan atau pertengkaran, kecuali karena
kelakuan aniaya dan melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.
Bila saja tidak ada unsur aniaya
dan fanatisme mereka terhadap sebagian lainnya dalam masalah sekte, dan upaya
mereka menyesatkan orang-orang yang menentangnya dengan cara menafsirkan
nas-nas agama berdasarkan pendapat dan hawa nafsu, serta mentakwilkan sebagian
atau merubahnya, maka tidak akan terjadi perselisihan antar mereka.
“Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Barang siapa mengingkari
ayat-ayat Allah yang menunjukkan kewajiban berpegang teguh kepada agama-Nya dan
kesatuan, serta diharamkannya perselisihan dan perpecahan, juga diharamkan
tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, maka Allah akan membalas dan menghukum.
Sebab Allah Maha cepat hisab-Nya.
Yang dimaksud ayat-ayat Allah
disini adalah ayat-ayat kebesaran-Nya yang diilustrasikan dengan alam semesta,
dalam diri mereka dan di seluruh penjuru bumi yang luas ini. Termasuk katagori
tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, yaitu seperti memalingkan arti yang sebenarnya
dan menyesuaikan dengan sekte-sekte sesat, bahkan atheis dalam menafsirkan
ayat-ayat syariat yang diturunkan Allah SWT, kepada para Rasul-Nya.
4.
Penafsiran QS. Ali Imran (3) :
19, Menurut Syaikh Imam Al-Qurthubi Dalam Tafsir Al-Qurthubi[4]
Untuk ayat ini, terdapat dua
pembahasan :
Pertama : Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”
Abu Al-Aliyah mengatakan bahwa
kata Ad-Din pada ayat ini bermakna ajaran dan ketaatan, sedangkan kata Al-Islam
bermakna keimanan. Pendapat ini juga diikuti oleh para ahli ilmu Kalam.
Pada awalnya, sebutan iman dan
islam itu adalah dua hal yang berbeda. Dalilnya adalah hadits yang mengisahkan
pertanyaan malaikat Jibril kepada Nabi SAW. Namun bisa juga keduanya bermakna
sama, maksudnya sebutan Islam dapat digunakan untuk makna Iman, dan sebutan
Iman dapat digunakan untuk makna Islam. Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan mengenai Abdul Qais. Yaitu pada saat para delegasi itu
diperintahkan untuk beriman kepada Allah semata, Nabi SAW bertanya kepada
mereka, “Apakah kalian mengetahui makna
Iman?” mereka menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu Nabi bersabda, “(Iman adalah) bersyahadat bahwa tiada tuhan melainkan Allah, dan
Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan…” Al-Hadits… (HR. Muslim pada pembahasan tentang Keimanan
(1/47-48).
Begitu juga dengan sabda Nabi
SAW,
“Iman
itu tujuh puluh sekian bagian, dan bagian yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (dari jalan), dan bagian yang paling tinggi adalah ucapan,
Laa ilaaha illallah (Tiada tuhan melainkan Allah).” (HR. At-Tirmidzi, Dalam riwayat
imam Muslim ditambahkan, “rasa malu itu
salah satu bagian dari keimanan.”)
Atau bisa juga keduanya bermakna
samar, maksudnya yang disebutkan salah satunya namun yang dimaksudkan adalah
yang lainnya, seperti yang terjadi pada ayat ini, dimana yang disebutkan adalah
kata islam namun makna yang tersirat adalah pembenaran akidah.
Dan diantara makna ini adalah
sabda Rasulullah SAW :
“Keimanan
adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengerjakan
rukun-rukunnya.”
HR. Ibnu Majah (seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya). Akan tetapi,
makna yang sebenarnya tetap makna yang pertama, secara syariat dan
pemberitahuan langsung. Adapun makna yang lainnya hanya penambahan dan
perluasan maknanya saja. Wallahu A’lam.
Kedua
: Firman Allah
SWT :
“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Pada ayat ini Allah SWT
memberitahukan tentang perselisihan yang terjadi pada Ahlul Kitab, padahal mereka telah diberikan pengetahuan. Mereka
melakukannya hanya karena kedengkian dan mengharapkan keduniaan semata.
Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Umar dan ulama lainnya.
Sebenarnya pada firman ini
terdapat taqdim dan ta’khir (ada kalimat yang dimajukan dan
diakhirkan). Perkiraannya adalah, “Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka.”
Pendapat ini disampaikan oleh Al-Akhfasy.
Muhammad bin Ja’far bin Zubair
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan para Ahlul Kitab disini ialah orang-orang
Nasrani. Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini
adalah orang-orang Yahudi.
Namun Lafadz Ahlul Kitab adalah
umum untuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Maksudnya, makna firman
Allah SWT, “Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al-Kitab” mereka berselisih mengenai Muhammad SAW sebagai
seorang Nabi.
“Kecuali
setelah datang pengetahuan kepada mereka”, maksudnya, setelah dijelaskan dalam kitab mereka
mengenai sifat-sifat kenabian Muhammad SAW dan segala cirri-cirinya.
Ada juga yang menafsirkan, “Tiada berdebat dan berselisih orang-orang
yang telah diberi kitab Injil mengenai Nabi Isa kecuali setelah mereka
diberitahukan bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya, dan bahwa Isa adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya”
5.
Penafsiran QS. Ali Imran (3) :
19, Menurut M. Quraish Shihab Dalam
Tafsir Al-Mishbah[5]
Kata Din mempunyai banyak arti, antara lain ketundukan, ketaatan,
perhitungan, balasan. Juga berarti agama karena dengan agama seseorang bersikap
tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu
ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Sesungguhnya
agama yang disyariatkan disisi Allah adalah Islam. Demikian terjemahan yang
popular.
Terjemahan atau makna itu, walau
tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk
memahaminya dengan lebih jelas, mari kita lihat hubungan ayat ini dengan ayat
sebelumnya.
Ayat yang lalu menegaskan bahwa
tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam,
kecuali Dia, Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan
ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, jika demikian,
hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah, yang diakui
dan diterima disisi-Nya.
Agama, atau ketaatan kepada-Nya,
ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah SWT. Islam dalam arti penyerahan
diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak
Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad SAW.
Ayat ini, menurut Ibn Katsir,
mengandung pesan dari Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya dan yang diterima-Nya
dari seorang pun kecuali Islam, yaitu mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap
saat hingga berakhir dengan Muhammad SAW. Dengan kehadiran beliau, telah
tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa
yang menemui Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW dengan menganut satu
agama selain syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya,
sebagaimana firman-Nya : “ Barang siapa
mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali
Imran (3) : 85)
Sekali lagi, jika demikian, Islam
adalah agama para nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para
nabi terdahulu, karena itu-tulis asy-Sya’rawi- Islam tidak terbatas hanya pada
risalah Sayyidina Muhammad SAW saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk
kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang di
dukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja- lanjut
asy-Sya’rawi-kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat,
sedang umat Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan
sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya.
Ini Karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa nama ini telah
ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT yang
disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan di abadikan al-Qur’an menyatakan: “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini…
(QS. Al-Hajj (22) : 78). Karena itu pula agama-agama lain tidak menggunakan
nama ini sebagaimana kaum muslimin tidak menamai ajaran agama mereka dengan
Muhammadinisme.
Di sisi lain diamati bahwa dalam
al-Qur’an tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama
ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Dari semua yang dijelaskan
diatas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, karena, baik dari tinjauan agama maupun
sosiologis, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan,
secara akidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat ini dituntut untuk
menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, walaupun disisi Allah semua
agama yang dibawa oleh para rasul adalah Islam sehingga siapapun sejak Adam
hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul
yang diutus kepada mereka, Allah tidak menerimanya.
Allah telah mengutus rasul-rasul
membawa ajaran Islam, tetapi ternyata banyak yang tidak menganutnya. Banyak
yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih
adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para
nabi dan rasul yang diutus itu tidak keliru atau salah, tidak juga lalai
menjelaskan agama itu kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab pada suatu
kondisi atau pun waktu kecuali sesudah
dating pengetahuan kepada mereka. Nah, jika demikian, mengapa mereka
berselisih ? tentu ada penyebabnya. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian
antara mereka dan orang lain, tetapi antara mereka satu dan yang lain.
Kedengkian yang merupakan
terjemahan dari kata baghyan, yang
digunakan ayat diatas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan
mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri
hati terhadap pemilik nikmat itu.
Ayat diatas menegaskan bahwa
mereka telah mengetahui kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan
diancam. Ini karena keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan
dan ketaatan, atau, dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan.
Keberagamaan membutuhkan buah, sedang tumbuhan tidak akan berbuah jika tidak
ada lahan yang subur berupa kesucian hati. Bukankah air yang tercurah dari
langit tidak menghasilkan buah tanpa ada lahan subur yang digarap ? Mereka yang berselisih karena enggan menerima ajaran para
rasul, apalagi setelah mereka ketahui, pada hakikatnya adalah orang-orang kafir
terhadap ayat-ayat Allah, dan barang
siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Allah akan menjatuhkan
sanksi atasnya. Jangan menduga bahwa sanksi itu masih lama. Tidak! Sebentar
lagi akan mereka alami karena sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya dan dengan demikian, cepat pula jatuhnya
sanksi Allah terhadap orang-orang yang kafir.
KESIMPULAN
Setelah pemakalah menguraikan
penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19 menurut tiga Mufassir; M. Quraish Shihab
dalam tafsir al-Mishbah, Ahmad Mushthofa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi dan
Syaikh Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, dapat diambil setidaknya dua
poin kesimpulan sbb :
1.
Dengan
ayat kesembilan belas Allah memberi tahu kepada hamba-Nya bahwa tiada suatu
agama selain agama Islam yang diterima oleh-Nya dari seseorang. Dan dimaksud
dengan Islam ialah mengikuti jejak pesuruh-pesuruh Allah dalam segala hal yang
telah diwahyukan kepada mereka dari masa ke masa sampai diakhiri dengan
kenabian Muhammad SAW, yang telah menutup segala jalan kepada-Nya melainkan
lewat ajaran beliau. Maka barangsiapa sesudah kerasulan Nabi Muhammad SAW
datang kepada Allah dengan Agama selain agama Muhammad dan syariatnya tidaklah
akan diterima sebagaimana firman Allah SWT :
85.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
2.
Kemudian
Allah memberi tahu dalam ayat ini bahwa orang-orang yang telah diberi
kitab-kitab sebelum Al-Qur’an telah berselisih setelah datang pengetahuan
kepada mereka tentang kerasulan beberapa rasul dan penurunan beberapa kitab.
Mereka berselisih karena kedengkian dan kebencian diantara sesama mereka yang
menjadikan sebagian dari mereka menentang sebagian yang lain dalam segala
kata-kata dan perbuatan walaupun kata-kata dan perbuatan itu benar. Kemudian
Allah berfirman bahwa barangsiapa yang
kafir, mengingkari apa yang diturunkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka Allah
Maha Cepat akan membalasnya dan menghukumnya atas pengingkarannya serta
pelanggarannya terhadap kitab Allah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah :
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.
2.
Al-Qurthubi,
Syaikh Imam. 2008. Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an. Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta : Pustaka Azzam.
3.
Mushthafa
Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir
Al-Maraghi . Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha
Putra Semarang.
4.
Mansur,
Sufa’at. 2011. Agama-Agama Besar Masa
Kini. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[1]
Sufa’at
Mansur. Agama-Agama Besar Masa Kini. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2011. Hlm. V
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi.
Tafsir Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya
Toha Putra Semarang. 1993. Hlm. 205-206.
[3]
Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk.
Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.
1993. Hlm. 208-211.
[4]
Syaikh
Imam al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta
: Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 119-123.
[5]
M.
Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta : Lentera Hati. 2002. Hlm. 47-50.
No comments:
Post a Comment