Disusun Oleh :
1. Abdul Muhaimin (124211014)
2. Ahmad Amin (124211015)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada masa
Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman
Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui
mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk
menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan
menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah
bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit
tandingannya.
Hadits nabi
tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke
seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena
meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi
makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan
musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang
dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari
Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan
mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan
sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan
pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan
lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para
perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan
riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat
bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu
Hadits.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
dan Pembagian Ulumul Hadits
2. Sejarah Pertumbuhan
danPenghimpunan Hadits
3. Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Pembagian Ulumul Hadits
1. Pengertian Ulumul Hadits
Para Ulama
telah sepakat bahwa Ulumul Hadits atau
ilmu yang membahas tentang perihal hadits baik dari segi periwayatannya atau
dari segi materi/ matan riwayat hadits adalah suatu ilmu yang sangat penting.[1]
Oleh karena itu mendalaminya adalah suatu keharusan bagi para pemangku hadits.
Ulumul
Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya :
‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan
al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berati “ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,
taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas
atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu
Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan
hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya,
kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.
Pembukaan
hadits di sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam
rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang
kuat agar hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para
penghafalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang mereka
dapatkan beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian
terlebih dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan
riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah
sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan
masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin
Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun
perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab
khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama
dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim
Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu
Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H)
yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan
Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan
hadits.
2. Pembagian Ulumul Hadits
Ilmu hadits
yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya,
Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah).
Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a. Ilmu Hadits
Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah ialah ilmu yang menukilkan segala
apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir,
ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai.
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni
perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang
dibahas didalamnya. [2]
b. Ilmu Hadits
Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah ialah ilmu hadits dirayah adalah
ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau
ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu.
Maudhu’nya (objeknya) adalah
mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat
mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. [3]
Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh
antara lain:
1.
Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak
masa Rasul SAW sampai sekarang.
2.
Dapat
mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3.
Mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits
lebih lanjut.
4.
Dapat
mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai
pedoman dalam beristimbat.
5.
Dari
beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari
Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia
maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun
matannya.
6.
Dengan
melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar
adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan
diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain.
Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus
berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan
langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu
Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
B. Sejarah
Pertumbuhan dan Penghimpunan Ilmu Hadits
Sunnah atau
hadits sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an dalam sejarahnya
telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli
berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan
penghimpunannya.[4] Dalam
makalah ini dijelaskan dalam empat periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW,
sahabat, tabi’in, dan masa kodifikasi (tadwin hadits).
1. Hadits pada
masa Rasulullah SAW
Seluruh
perbuatan, ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya.
Ada suatu
keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat
Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai
sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat
atau mempersulit pertemuan mereka.[5]
Ada
beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadits kepada
para sahabatnya, yaitu:
1. Melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau
majelis al- ilmi.
2. Dalambanyak kesempatan, Rasulullah SAW juga
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
3. Cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah[6]
Para sahabat dalam menerima hadits Nabi berpegang
teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan jalan menulis.
Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan kemudian makna atau
lafadz tergambar dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada
orang lain lewat hafalan pula.
2. Hadits pada masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadits adalah masa sahabat, khususnya Khulafa Ar-Rasyidin yaitu sekitar
tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena pada
masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’an. Periwayatan hadits belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh
karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan
adanya masa pembatasan periwayatan ( At-Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah ).[7]
Meskipun begitu Rasul sangat memerintahkan sahabat untuk
mentablighkan hadits seperti dibawah ini:
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ
مِنِّيْ مَقَالَتِيْ مَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا
سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.
“mudah-mudahan Allah
mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan
dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena
banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada
yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi ).[8]
Hadits pada masa Abu Bakar
dan Umar hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja,
belum bersifat pelajaran. Pada masa ini hadits belum diluaskan karena beliau
mengerahkan minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para
sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan
hadits dan riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.
Pada masa Utsman dan Ali hadits
lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan dalam
masyarakat dikala itu.[9]
3. Hadits pada
masa Tabi’in
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbulah usaha yang lebih
serius untuk mencari dan menghfal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat
luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syiria dan
Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia.
Pada tahun 56 H tentara islam sampai disamarkand. Pada tahun 93 H tentara islam
menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu
menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadits yang menghasilkan
sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[10]
Tercatat beberapa
kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan
para tabi’in dalam mencari hadits, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah
Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus.[11]
Intinya pada masa
ini periwayatan hadits masih bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat ),
seperti seorang murid langsung memperoleh hadits dari guru dan mendengarkan
langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan
mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah bahwa pada masa ini
periwayatan hadits sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal dengan
Iktsar al-Riwayah (pembanyakan riwayat).[12]
4. Masa kodifikasi (Tadwin Hadits)
yang dimaksud dengan kodifikasi Hadits atau Tadwin
pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala
negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya. Tidak seperti
kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi,
sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin
oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah ke-8 dari kekhalifahan Bani
Umayah), melalui intruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar
bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur Madinah). Beliau mengintruksikan kepada
Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadits yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman al-Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasin bin
Muhammad bin Abi Bakar. Intruksi yang sama juga diberikan kepada Muhammad bin
Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui
hadits dari pada yang lainnya.[13]
Alasan
mengapa hadits dibukukan/dikodifikasikan karena:
1. Hilangnya sejumlah hadits besar.
2. Penyebaran kebohongan.
3. Periwayatan makna.
4. Perbedaan diantara sesama muslim.
5. Penyebarluasan ra’yu (penilaian subyektif).[14]
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
a. Ilmu Rijal Al-Hadist
Adalah ilmu
yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan atba’ al-tabi’in. Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam
buku Endang Soetari mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok
orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu
Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun
materi dari ilmu ini adalah :
1) Konsep tentang rawi dan thabaqah
2) Rincian thabaqah rawi
3) Biografi yang telah terbagi pada
tiap thabaqah
b. Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
Adalah
ilmu tentang hal ihwal para rawi dalam hal mencatat keaibannya dan menguji
keadilannya.
Ta’dil
artinya menganggap adil seorang rawi yakni memuji rawi dengan sifat-sifatyang
membawa maqbulnya riwayat. Adapun Al-Jarh atau Tajrih artinya mencacatkan,
yakni menuturkan sebab-sebab keaiban rawi. Ilmu ini berkaitan dengan hal-hal
seperti bid’ah (i’tikad berlawanandengan dasar syariat), mukhalafah (perlawanan
sifat adil dan dhabith), gholath (kesalahan), jahalah al-hal (tidak diketahui
identitasnya), da’wa al-inqitha’ (mendakwa terputusnya sanad).
Kaidah
Tajrih dan Ta’dil ada dua macam:
a. Naqd
Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan
tentang kapasitas rawi.
b. Naqd
Dakhili, yaitu kritik internal, yaitu tentang makna hadits dan syarat keshahihannya.
Adapun syarat-ayarat pentajrih dan
penta’dil adalah: berilmu, taqwa, wara’, jujur, menjauhi fanatik golongan,
mengetahuisebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar).
2. Ilmu dan Kaidah Tentang Matan
a. Gharib
Al-Hadits
Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang
terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah
lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk
menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama
hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya
diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang
tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para
ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1.
Mencari dan
menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2.
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak
meriwayatkan,
3.
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain shahabat.
b. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits dan Tawarikh al-Mutun
Ta’rif
ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW
menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”. Ilmu ini titik berat
pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui
asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan
Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist
tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab
Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar
ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab
al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ta’rif
ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadits-hadits yang
sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.”
Beliau
menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis
Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan,
hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat
diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud
tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang
diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian
(terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang
belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan
dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari
Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang
dimaksud.
3. Ilmu dan Kaidah Tentang Sanad dan Matan[16]
a. Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Adalah ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat
merusakkan hadits. Jadi Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang
suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.
b. Ilmu Fan al-Mubhamat
Adalah
ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam atan atau di
dalam sanad.
c. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Ilmu
Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah
diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini
adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu
Ahmad al-Askari (283 H).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Hadits adalah ilmu yang
membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al
Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa
ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya
ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama
Ulumul Hadits.
B. SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat pemakalah susun , tentunya makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk membangun dan memperbaiki makalah ini. Penulis juga meminta maaf apabila
ada penulisan dan ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Al Katib, Ajaj, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan,
1999, Jakarta: Gema Insani Press
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi, 2010, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra
Hadi, Saeful, Ulumul
Hadits, Yogyakarta: Sabda Media
Ja’fariyah, Rasul, Penulisan Penghimpunan Hadits, 1992,
Jakarta: Lentera
Mudasir, Ilmu Hadis,
2005, Bandung: Pustaka Setia
Nor, Ichwan Mohammad,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 2013, Semarang: Rasail Media Group
Soetari,
Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, 2005, Yogyakarta:
CV Qalam Suparta, Munzier, 2003 Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
[1] Saeful
Hadi. Ulumul Hadits, Yogyakarta:
Sabda Media, hlm.1.
[2]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 112.
[4] Mohammad
Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media Group,
2013, hlm. 109.
[5] Mudasir,
Ilmu Hadits, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999, hlm. 88
[6] Ibid,
hlm. 89.
[7] Ibid,
hlm. 95.
[8] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 36.
[9] Ajaj
al-Khatib, Hadits Nabi sebelum dibukukan, Jakarta: Gema Insani Press,
1999, hlm. 116.
[10] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 45.
[11] Ibid,
hlm. 48.
[12] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 85.
[13]
Mudasir, Op.Cit, hlm. 106
[14] Rasul
Ja’fariyah, Penulisan Penghimpunan Hadits, Jakarta: Lentera, 1992, hlm.
88.
[15] Prof.
Dr. H. Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta:
CV Qalam, 2005, hlm. 201-213.
[16] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm.118- 119.
3 comments:
Mas jual bukunya tidak...?
Mas jual bukunya tidak...?
3ee3
Post a Comment